LIMA PULUH DELAPAN TAHUN PERJALANAN PANCASILA
Sebagian
besar masyarakat yakin bahwa Rumusan Pancasila dicetuskan pertama kali
oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, sehingga tanggal tersebut
pernah dijadikan tonggak sejarah hari kelahiran Pancasila. Namun
perkembangan jaman sempat memudarkan keyakinan itu. Pada era orde baru,
ada pergeseran paradigma sejarah, sehingga peran Bung Karno sebagai
pencetus pertama Pancasila sebagai dasar negara sempat menjadi
dikaburkan. Hal seperti ini wajar, karena sejarah itu adalah history (his story/cerita
dia), sehingga wajar saja jika peran seorang tokoh sangat bergantung
pada kesan dan pesan subyektif si pembuat versi sejarah itu kepada
tokoh yang akan diceritakan.
Upaya
pengubahan orientasi serta paradigma sejarah Pancasila pada era orde
baru sebenarnya membawa dampak positif terhadap citra Pancasila itu.
Momentum kesaktian Pancasila, terlepas dari versi sejarah mana yang
benar, disengaja atau tidak, justru mengangkat harkat Pancasila, karena
terdapat kesan bahwa Pancasila itu dirumuskan oleh seseorang yang
dianggap memiliki catatan negatif menurut anggapan yang beredar luas
pada saat itu. Bahkan paradigma sejarah versi rezim orde baru yang
menganggap bahwa rezim orde lama di bawah pimpinan sang pencetus
rumusan Pancasila itu terlibat dalam pengkhianatan Pancasila, turut
serta membersihkan pamor Pancasila.
Akan
tetapi sayang seribu kali sayang, penyelewengan yang dilakukan oleh
sebagian tokoh serta pemimpin orde baru yang berhasil secara halus
bernaung atau berlindung di balik jubah Pancasila, nilai luhur
Pancasila itu menjadi kusam. Pada masa orde baru banyak orang mencari
pembenaran atas hasrat serta kepentingannya dengan menggunakan dalih
Pancasila. Dengan alasan “musyawarah mufakat”, maka dihalalkanlah
praktek-praktek korupsi, kolusi, dan manipulasi. Dengan alasan “ini
negeri Pancasila”, “demi menyelamatkan Pancasila”,… ini dan itu,… maka
dibebaskanlah para pelaku kecurangan, penyelewengan, kedzaliman,
kemunafikan, kemungkaran, kemaksiatan, dan berbagai bentuk penyimpangan
lain di satu sisi, sementara di sisi lain tidak sedikit orang yang
benar-benar membela kebenaran malah dipersalahkan bahkan harus mendekam
di dalam ruang bertirai besi dengan tuduhan “ ekstrimis, .. anti
pancasila, orde lama, komunis, dsb…
Kemahiran
oknum penguasa orde baru berlindung di balik Pancasila telah
menyebabkan pencemaran keluhuran Pancasila. Menjelang akhir dari
kejayaan rezim orde baru, secara terbuka sudah mulai bermunculan
pernyataan yang mempertanyakan Pancasila. Bahkan tidak sedikit yang
membuat pernyataan anti sakralisasi Pancasila, dengan alasan bahwa
Pancasila telah disakralkan oleh rezim orde baru.
Anggapan
sakralisasi Pancasila pada masa rezim orde baru sebenarnya tidaklah
tepat, karena sebenarnya pada masa orde baru itulah terjadi proses
pelecehan Pancasila. Pada masa itu Pancasila dijadikan tameng atau
bumper kedzaliman, kemaksiyatan, keserakahan, dan kesewenang-wenangan
oleh sebagian besar penguasa. Betapa tidak,… sosok-sosok yang disebut
Manggala ( penatar tingkat tertinggi ilmu tafsir Pancasila madzhab orde
baru ) pun, ternyata sebagian besar malah pelaku Kedzaliman dan
Kemunafikan Nasional ( KKN, yang salah satu bentuk anaknya adalah
Korupsi Kolusi dan Nepotisme ). Fenomena itu lah yang menyebabkan
bermunculannya kesan bahwa Pancasila identik dengan orde baru dengan
berbagai macam ragam bentuk jurus KKN-nya, yang menyebabkan kehancuran
negeri tercinta. Padahal sebenarnya, jika kita gali nilai-nila
Pancasila dari ajaran budaya Jawa, sejak Prolamasi kemerdekaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia hingga saat ini Pancasila belum pernah
dilaksanakan satu sila pun oleh para pemimpin bangsa ini secara benar.
Selama 58 tahun terakhir ini Pancasila hanya bagaikan Mahkota emas yang
dipakai bergantian oleh para perampok dan pemerkosa, yang akhirnya
banyak orang muak melihat mahkota itu karena selalu melekat di kepala
makhluk yang tidak berperadaban serta tidak berbudaya.
WAHYU SAPTA WARSITA PANCA PANCATANING MULYA
Menurut sebagian dari faham ajaran spiritual Budaya Jawa, Pancasila itu merupakan bagian dari Wahyu Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya (
Wahyu tujuh kelompok ajaran yang masing-masing kelompok berisi lima
butir ajaran untuk mencapai kemuliaan, ketenteraman, dan kesejahteraan
kehidupan alam semesta hingga alam keabadian/ akhirat ). Sementara itu
ada tokoh spiritual lain menyebutkan Panca Mukti Muni Wacana yang hanya
terdiri atas lima kelompok ( bukan tujuh ).
Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya itu terdiri atas :
1. Pancasila
Pancasila merupakan butir-butir ajaran yang perlu dijadikan rujukan pembentukan sikap dasar atau akhlak manusia.
1.1. Hambeg Manembah
Hambeg manembah adalah sikap ketakwaan seseorang kepada Tuhan Yang Mahaesa.
Manusia sebagai makhluk ciptaanNya wajib memiliki rasa rumangsa lan pangrasa (menyadari)
bahwa keberadaannya di dunia ini sebagai hamba ciptaan Ilahi, yang
mengemban tugas untuk selalu mengabdi hanya kepadaNya. Dengan
pengabdian yang hanya kepadaNya itu, manusia wajib melaksanakan tugas
amanah yang diemban, yaitu menjadi khalifah pembangun peradaban serta
tatanan kehidupan di alam semesta ini, agar kehidupan umat manusia,
makhluk hidup serta alam sekitarnya dapat tenteram, sejahtera, damai,
aman sentosa, sehingga dapat menjadi wahana mencapai kebahagiaan abadi
di alam kelanggengan ( akhirat ) kelak ( Memayu hayu harjaning Bawana, Memayu hayu harjaning Jagad Traya, Nggayuh kasampurnaning hurip hing Alam Langgeng ).
Dengan
sikap ketakwaan ini, semua manusia akan merasa sama, yaitu berorientasi
serta merujukkan semua gerak langkah, serta sepak terjangnya, demi
mencapai ridlo Ilahi, Tuhan Yang Maha Bijaksana ( Hyang Suksma Kawekas ).
Hambeg
Mangeran ini mendasari pembangunan watak, perilaku, serta akhlak
manusia. Sedangkang akhlak manusia akan menentukan kualitas hidup dan
kehidupan, pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
1.2. Hambeg Manunggal
Hambeg manunggal adalah
sikap bersatu. Manusia yang hambeg mangeran akan menyadari bahwa
manusia itu terlahir di alam dunia ini pada hakekatnya sama. Kelebihan
dan kekurangan yang dimiliki oleh setiap insan itu memang merupakan
tanda-tanda kebesaran Hyang Suksma Adi Luwih ( Tuhan Yang Maha Luhur ).
Oleh karena itu sebagai salah satu bentuk dari sikap ketakwaan
seseorang adalah sikap hasrat serta kemauan kerasnya untuk bersatu.
Perbedaan tingkatan sosial, tingkat kecerdasan, dan perbedaan-perbedaan
lain sebenarnya bukan alat untuk saling berpecah belah, tetapi malah
harus dapat dipersatukan dalam komposisi kehidupan yang serasi serta
bersinergi. Hanya ketakwaan lah yang mampu menjadi pendorong tumbuhnya
hambeg manunggal ini, karena manusia akan merasa memiliki satu tujuan
hidup, satu orientasi hidup, dan satu visi di dalam kehidupannya.
Di dalam salah satu ajaran spiritual, hambeg manunggal itu dinyatakan sebagai, manunggaling kawula lan gustine (bersatunya antara rakyat dengan pemimpin), manunggale jagad gedhe lan jagad cilik ( bersatunya jagad besar dengan jagad kecil ), manunggale manungsa lan alame ( bersatunya manusia dengan alam sekitarnya ), manunggale dhiri lan bebrayan ( bersatunya individu dengan masyarakat luas ), manunggaling sapadha-padha ( persatuan di antara sesama ), dan sebagainya.
1.3. Hambeg Welas Asih
Hambeg welas asih adalah
sikap kasih sayang. Manusia yang hambeg mangeran, akan merasa dhirinya
dengan sesama manusia memiliki kesamaan hakikat di dalam hidup. Dengan
kesadaran itu, setelah hambeg manunggal, manusia wajib memiliki rasa
welas asih atau kasih sayang di antara sesamanya. Sikap kasih sayang
itu akan mampu semakin mempererat persatuan dan kesatuan.
1.4. Hambeg Wisata.
Hambeg wisata adalah
sikap tenteram dan mantap. Karena ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa, manusia akan bersikap tenteram dan merasa mantap di dalam
kehidupannya. Sikap ini tumbuh karena keyakinannya bahwa semua kejadian
ini merupakan kehendak Sang Pencipta.
Hambeg
wisata bukan berarti pasrah menyerah tanpa usaha, tetapi justru karena
kesadaran bahwa semua kejadian di alam semesta ini terjadi karena
kehendakNya, sedangkan Tuhan juga menghendaki manusia harus membangun
tata kehidupan untuk mensejahterakan kehidupan alam semesta, maka dalam
rangka hambeg wisata itu manusia juga merasa tenteram dan mantap dalam
melakukan usaha, berkarya, dan upaya di dalam membangun kesejahteraan
alam semesta. Manusia akan merasa mantap dan tenteram hidup
berinteraksi dengan sesamanya, untuk saling membantu, bahu membahu,
saling mengingatkan, saling mat sinamatan, di dalam kehidupan.
1.5. Hambeg Makarya Jaya Sasama
Hambeg Makarya Jaya Sasama adalah
sikap kemauan keras berkarya, untuk mencapai kehidupan, kejayaan sesama
manusia. Manusia wajib menyadari bahwa keberadaannya berasal dari asal
yang sama, oleh karena itu manusia wajib berkarya bersama-sama menurut
potensi yang ada pada dirinya masing-masing, sehingga membentuk sinergi
yang luar biasa untuk menjapai kesejahteraan hidup bersama. Sikap
hambeg makarya jaya sesama akan membangun rasa “tidak rela” jika masih
ada sesama manusia yang hidup kekurangan atau kesengsaraan.
2. Panca Karya
Panca karya merupakan butir-butir ajaran sebagai rujukan berkarya di dalam kehidupan.
2.1. Karyaning Cipta Tata
Karyaning Cipta Tata adalah kemampuan berfikir secara runtut, sistematis, tidak semrawut ( tidak worsuh, tidak tumpang tindih ).
Manusia
wajib mengolah kemampuan berfikir agar mampu menyelesaikan semua
persoalan hidup yang dihadapinya secara sistematis dan tuntas. Setiap
menghadapi permasalahan wajib mengetahui duduk permasalahannya secara
benar, mengetahui tujuan penyelesaian masalah yang benar beserta
berbagai standar kriteria kinerja yang hendak dicapainya, mengetahui
kendala-kendala yang ada, dan menyusun langkah atau strategi
penyelesaian masalah yang optimal.
2.2. Karyaning Rasa Resik
Karyaning rasa resik adalah
kemampuan bertindak obyektif, bersih, tanpa dipengaruhi dorongan hawa
nafsu, keserakahan, ketamakan, atau kepentingan-kepentingan pribadi
yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kebenaran/budi luhur.
2.3. Karyaning Karsa Lugu
Karyaning Karsa Lugu adalah
kemampuan berbuat bertindak sesuai suara kesucian relung kalbu yang
paling dalam, yang pada dasarnya adalah hakekat kejujuran fitrah
Ilahiyah ( sesuai kebenaran sejati yang datang dari Tuhan Yang Maha
Suci/Hyang Suksma Jati Kawekas ).
2.4. Karyaning Jiwa Mardika
Karyaning Jiwa Mardika adalah
kemampuan berbuat sesuai dengan dorongan Sang Jiwa yang hanya
menambatkan segala hasil karya, daya upaya, serta cita-cita kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa, terbebas dari cengkeraman pancaindera dan hawa
nafsu keserakahan serta ketamakan akan keduniawian. Karyaning Jiwa
Mardika akan mampu mengendalikan keduniaan, bukan diperbudak oleh
keduniawian ( Sang Jiwa wus bisa murba lan mardikaake sagung paraboting
kadonyan ).
2.5. Karyaning Suksma Meneng
Karyaning Suksma Meneng adalah
kemampuan berbuat berlandaskan kemantapan peribadatannya kepada Tuhan
Yang Maha Bijaksana, berlandaskan kebenaran, keadilan, kesucian fitrah
hidup, “ teguh jiwa, teguh suksma, teguh hing panembah “.
Di
dalam setiap gerak langkahnya, manusia wajib merujukkan hasil karya
ciptanya pada kehendak Sang Pencipta, yang menitipkan amanah dunia ini
kepada manusia agar selalu sejahtera.
3. Panca Guna
Panca
guna merupakan butir-butir ajaran untuk mengolah potensi kepribadian
dasar manusia sebagai modal dalam mengarungi bahtera kehidupan.
3.1. Guna Empan Papaning Daya Pikir
Guna empan papaning daya pikir adalah
kemampuan untuk berkonsentrasi, berfikir secara benar, efektif, dan
efisien ( tidak berfikir melantur, meratapi keterlanjuran, mengkhayal
yang tidak bermanfaat, tidak suka menyia-nyiakan waktu ).
3.2. Guna Empan Papaning Daya Rasa
Guna empan papaning daya rasa adalah kemampuan untuk mengendalikan kalbu, serta perasaan ( rasa, rumangsa, lan pangrasa ), secara arif dan bijaksana.
3.3. Guna Empan Papaning Daya Karsa
Guna empan papaning daya karsa adalah kemampuan untuk mengendalikan, dan mengelola kemauan, cita-cita, niyat, dan harapan.
3.4. Guna Empan Papaning Daya Karya
Guna empan papaning daya karya adalah kemampuan untuk berkarya, berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negaranya.
3.5. Guna Empan Papaning Daya Panguwasa
Guna empan papaning daya panguwasa adalah
kemampuan untuk memanfaatkan serta mengendalikan kemampuan, kekuasaan,
dan kewenangan secara arif dan bijaksana (tidak menyalahgunakan
kewenangan). Kewenangan, kekuasaan, serta kemampuan yang dimilikinya
dimanfaatkan secara baik, benar, dan tepat untuk mengelola
(merencanakan, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi ) kehidupan alam
semesta.
4. Panca Dharma
Panca
dharma merupakan butir-butir ajaran rujukan pengarahan orientasi hidup
dan berkehidupan, sebagai penuntun bagi manusia untuk menentukan visi
dan misi hidupnya.
4.1. Dharma Marang Hingkang Akarya Jagad
Dharma marang Hingkang Akarya Jagad adalah
melaksanakan perbuatan mulia sebagai perwujudan pelaksanaan kewajiban
umat kepada Sang Pencipta. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Mahaesa
untuk selalu menghambakan diri kepada-Nya. Oleh karena itu semua
perilaku, budi daya, cipta, rasa, karsa, dan karyanya di dunia tiada
lain dilakukan hanya semata-mata sebagai bentuk perwujudan dari
peribadatannya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, untuk mensejahterakan alam
semesta ( memayu hayuning harjaning bawana, memayu hayuning jagad traya ).
4.2. Dharma Marang Dhirine
Dharma marang dhirine adalah
melaksanakan kewajiban untuk memelihara serta mengelola dhirinya secara
baik. Olah raga, olah cipta, olah rasa, olah karsa, dan olah karya
perlu dilakukan secara baik sehingga sehat jasmani, rohani, lahir, dan
batinnya.
Manusia
perlu menjaga kesehatan jasmaninya. Namun demikian mengasah budi,
melalui belajar agama, budaya, serta olah batin, merupakan kewajiban
seseorang terhadap dirinya sendiri agar dapat mencapai kasampurnaning
urip, mencapai kebahagiaan serta kesejahteraan di dunia dan di akhirat.
Dengan kesehatan jasmani, rohani, lahir, dan batin tersebut, manusia dapat memberikan manfaat bagi dirinya sendiri.
4.3. Dharma Marang Kulawarga
Dharma marang kulawarga adalah
melaksanakan kewajiban untuk memenuhi hak-hak keluarga. Keluarga
merupakan kelompok terkecil binaan manusia sebagai bagian dari
masyarakat bangsa dan negara. Pembangunan keluarga merupakan fitrah
manusiawi. Kelompoh ini tentunya perlu terbangun secara baik. Oleh
karena itu sebagai manusia memiliki kewajiban untuk melaksanakan tugas
masing-masing di dalam lingkungan keluarganya secara baik, benar, dan
tepat.
4.4. Dharma Marang Bebrayan
Dharma marang bebrayan adalah
melaksanakan kewajiban untuk turut serta membangun kehidupan
bermasyarakat secara baik, agar dapat membangun masyarakat binaan yang
tenteram damai, sejahtera, aman sentosa.
4.5. Dharma Marang Nagara
Dharma marang nagara adalah
melaksanakan kewajiban untuk turut serta membangun negara sesuai peran
dan kedudukannya masing-masing, demi kesejahteraan, kemuliaan,
ketenteraman, keamanan, kesetosaan, kedaulatan, keluhuran martabat,
kejayaan, keadilan, dan kemakmuran bangsa dan negaran beserta seluruh
lapisan rakyat, dan masyarakatnya.
5. Panca Jaya
Panca jaya merupakan butir-butir ajaran sebagai rujukan penetapan standar kriteria atau tolok ukur hidup dan kehidupan manusia.
5.1. Jayeng Dhiri
Jayeng dhiri artinya
mampu menguasai, mengendalikan, serta mengelola dirinya sendiri,
sehingga mampu menyelesaikan semua persoalan hidup yang dihadapinya,
tanpa kesombongan ( ora rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa lan
hangrumangsani, kanthi rasa, rumangsa, lan pangrasa ).
5.2. Jayeng Bhaya
Jayeng Bhaya artinya
mampu menghadapi, menanggulangi, dan mengatasi semua bahaya, ancaman,
tantangan, gangguan, serta hambatan yang dihadapinya setiap saat,
dengan modal kepandaian, kepiawaian, kecakapan, akal, budi pekeri,
ilmu, pengetahuan, kecerdikan, siasat, kiat-kiat, dan ketekunan yang
dimilikinya. Dengan modal itu, seseorang diharapkan mampu mengatasi
semua permasalahan dengan cara yang optimal, tanpa melalui pengorbanan
( mendatangkan dampak negatif ), sehingga sering disebut ‘nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake‘ ( menyerang tanpa pasukan, menang dengan tidak mengalahkan ).
5.3. Jayeng Donya
Jayeng donya artinya
mampu memenuhi kebutuhan kehidupan di dunia, tanpa dikendalikan oleh
dorongan nafsu keserakahan. Dengan kemampuan mengendalikan nafsu
keserakahan di dalam memenuhi segala bentuk hajat serta kebutuhan
hidup, maka manusia akan selalu peduli terhadap kebutuhan orang lain,
dengan semangat tolong menolong, serta memberikan hak-hak orang lain,
termasuk fakir miskin ( orang lemah yang nandang kesusahan/ papa cintraka ).
5.4. Jayeng Bawana Langgeng
Jayeng bawana langgeng artinya
mampu mengalahkan semua rintangan, cobaan, dan godaan di dalam
kehidupan untuk mempersiapkan diri, keturunan, dan generasi penerus
sehingga mampu mencapai kebahagiaan hidup dan kehidupan di dunia dan
akhirat.
5.5. Jayeng Lana ( mangwaseng hurip lahir batin kanthi langgeng ).
Jayeng lana artinya
mampu secara konsisten menguasai serta mengendalikan diri lahir dan
batin, sehingga tetap berada pada hidup dan kehidupan di bawah ridlo
Ilahi.
6. Panca Daya
Panca
daya merupakan butir-butir ajaran sebagai rujukan sikap dan perilaku
manusia sebagai insan sosial, atau bagian dari warga masyarakat, bangsa
dan negara. Di samping itu sementara para penghayat spiritual
kebudayaan Jawa mengisyaratkan bahwa pancadaya itu merupakan komponen
yang mutlak sebagai syarat pembangunan masyarakat yang adil, makmur,
sejahtera, aman, dan sentosa lahir batin.
6.1. Daya Kawruh Luhuring Sujanma
Daya kawruh luhuring sujanma artinya kekuatan ilmu pengetahuan yang mampu memberikan manfaat kepada kesejahteraan alam semesta.
6.2. Daya Adiling Pangarsa
Daya adiling pangarsa/tuwanggana artinya kekuatan keadilan para pemimpin.
6.3. Daya Katemenaning Pangupa Boga
Daya katemenaning pangupa boga artinya kekuatan kejujuran para pelaku perekonomian ( pedagang, pengusaha ).
6.4. Daya Kasetyaning Para Punggawa lan Nayaka
Daya kasetyaning para punggawa lan nayaka artinya kekuatan kesetiaan para pegawai/ karyawan.
6.5. Daya Panembahing Para Kawula
Daya panembahing para kawula artinya
kekuatan kemuliaan akhlak seluruh lapisan masyarakat ( mulai rakyat
kecil hingga para pemimpinnya; mulai yang lemah hingga yang kuat, mulai
yang nestapa hingga yang kaya raya, mulai kopral hingga jenderal, mulai
sengsarawan hingga hartawan ).
7. Panca Pamanunggal ( Panca Panunggal )
Panca
pamanunggal adalah butir-butir ajaran rujukan kriteria sosok manusia
pemersatu. Sementara tokoh penghayat spiritual jawa menyebutkan bahwa
sosok pimpinan yang adil dan akan mampu mengangkat harkat serta
martabat bangsanya adalah sosok pimpinan yang di dalam jiwa dan raganya
bersemayam perpaduan kelima komponen ini.
7.1. Pandhita Suci Hing Cipta Nala
Pandita suci hing cipta nala adalah
sosok insan yang memiliki sifat fitrah, yaitu kesucian lahir batin,
kesucian fikir dan tingkah laku demi memperoleh ridlo Ilahi.
7.2. Pamong Waskita
Pamong waskita adalah sosok insan yang mampu menjadi pelayan masyarakat yang tanggap aspirasi yang dilayaninya.
7.3. Pangayom Pradah Ber Budi Bawa Bawa Leksana
Pangayom pradhah ber budi bawa leksana adalah
sosok insan yang mampu melindungi semua yang ada di bawah
tanggungjawabnya, mampu bersifat menjaga amanah dan berbuat adil
berdasarkan kejujuran.
7.4. Pangarsa Mulya Limpat Wicaksana
Pangarsa mulya limpat wicaksana artinya
sosok insan pemimpin yang berbudi luhur, berakhlak mulia, cakap,
pandai, handal, profesional, bertanggungjawab, serta bijaksana.
7.5. Pangreh Wibawa Lumaku Tama
Pangreh wibawa lumaku tama artinya
sosok insan pengatur, penguasa, pengelola yang berwibawa, memiliki jiwa
kepemimpinan yang baik, mampu mengatur bawahan dengan kewenangan yang
dimilikinya, tetapi tidak sewenang-wenang, karena berada di dalam
selalu berada di dalam koridor perilaku yang mulia ( laku utama ).
KORELASI RUMUSAN PANCASILA DASAR NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
Menurut
KRMH. T.H. Koesoemoboedoyo, di dalam buku tentang “Wawasan Pandam
Pandoming Gesang Wewarah Adiluhung Para Leluhur Nuswantara Ngudi
Kasampurnan Nggayuh Kamardikan”, pada tahun 1926, perjalanan spiritual
Bung Karno, yang sejak usia mudanya gemar olah kebatinan untuk
menggapai cita-citanya yang selalu menginginkan kemerdekaan negeri
tercinta, pernah bertemu dengan seorang tokoh spiritual, yaitu Raden
Ngabehi Dirdjasoebrata di Kendal Jawa Tengah. Pada saat itu Raden
Ngabehi Dirdjasoebrata mengatakan kepada Bung Karno, “ Nak,..
mbenjing menawi nagari sampun mardika, dhasaripun Pancasila. Supados
nak Karno mangertos, sakpunika ugi kula aturi sowan dik Wardi mantri
guru Sawangan Magelang “. ( “ Nak, nanti jika negeri telah
merdeka, dasarnya Pancasila. Supaya nak Karno mengerti, sekarang juga
saya sarankan menemui dik Wardi, mantri guru Sawangan Magelang” ).
Setelah Bung Karno menemui Raden Suwardi di Sawangan Magelang, maka
oleh Raden Suwardi disarankan agar Bung Karno menghadap Raden Mas
Sarwadi Praboekoesoema di Yogyakarta.
Di
dalam pertemuannya dengan Raden Mas Sarwadi Praboekoesoemo itu lah Bung
Karno memperoleh wejangan tentang Panca Mukti Muni Wacana dalam bingkai
Ajaran Spiritual Budaya Jawa, yang terdiri atas Pancasila, Panca Karya,
Panca Guna, Pancadharma, dan Pancajaya.
Terlepas
dari kecenderungan faham pendapat Sapta Warsita Panca Pancataning
Mulya, atau Panca Mukti Muni Wacana, jika dilihat rumusan Pancasila (
dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia ), beserta proses pengusulan
rumusannya, dengan menggunakan kejernihan hati dan kejujuran,
sepertinya dapat terbaca bahwa seluruh kandungan ajaran Wahyu Sapta Warsita Panca Pancataning Mulya dan atau Panca Mukti Muni Wacana itu termuat secara ringkas di dalam rumusan sila-sila Pancasila, yaitu :
1. Ketuhanan Yang Mahaesa
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan
/ perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar