Rabu, 30 November 2011

Simbolisme dalam Budaya Jawa-Hindu ... ( 1 )

Simbol dan ReligiManusia adalah makhluk yang berbudaya. Sebagai makhluk yang berbudaya tentunya manusia akan selalu berkreativitas sebagaimana yang telah disinggung di atas menurut kemampuan cipta, rasa dan karsanya. Kreativitas itu akan merupakan sebuah kebudayaan yang di sana terdapat sistem gagasan, simbol-simbol dan nilai-nilai sebagai hasil karya dari tindakan manusia. Kenyataan ini membuat manusia tidak bisa lepas dari symbol-simbol yang selalu menjadi bagian dari kehidupan manusia itu sendiri.

Anasir itu nampaknya cukup untuk menunjukkan bahwa simbol sangatlah penting dalam kehidupan manusia. Dalam segala hal baik itu yang berasal dan unsur cipta, rasa dan karsanya, manusia selalu mengungkapkannya secara simbolis, Pengantin ketika mengenakan cincin perkawinannya kepada pasangan pengantinnya sebagai tanda kesetiaan, seseorang diberikan piala dan piagam penghaargaan atas prestasinya, kita memberikan kado ulang tahun untuk teman kita, dan sebagainya, kesemuanya itu merupakan simbolisasi yang ingin diungkapan oleh manusia untuk mengekspresikan pemikiran, perasaan dan tindakannya. Dan hal ini pula yang membedakan manusia dan hewan. Maka dan itu, Ernst Cassier cenderung menyebut manusia sebagai animal symbolicum (hewan yang bersimbol).

Oleh karena itu, tidak salah apa yang pernah diungkapkan oleh S.K. Langer dalam bukunya Philosophy in a New Key tentang simbol yang menyatakan, “The symbol making function is one of man’s primary activities”. Jadi bagi manusia, membuat simbol adalah aktivitas primer yang sening kali teiladi karena spontanitas dan manusianya sendiri.
Lebih jauh A.H. Bakker mengajukan indikator yang menunjukkan suatu perbuatan atau tindakan yang bermakna simbolis. Menurutnya, tindakan orang akan bersifat simbolis jikalau di dalamnya disingkapkan seluruh hidup pribadi atau sekurang-kurangnya salah satu sikap yang cukup untuk mewakili keseluruhan. Tindakan simbolis menyatakan satu sikap dasariah, seperti cinta, persahabatan, pengabdian, kebencian, atau kejahatan lain yang disimbolkan selain dalam arti atau nilai abstrak dan impersonal, melainkan dasar pribadi yang unik seperti dihayati oleh pribadi yang tertentu ini.

Lalu apakah sebenarnya simbol itu? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus memulainya dari asal kata (segi etimologis) simbol itu sendiri.

Secara etimologi, simbol berasal dari kata kerja Yunani sumballo (sumballein) yang berarti berwawancara, merenungkan, memperbandingkan, bertemu, melemparkan jadi satu, menyatukan. Jadi simbol adalah penyatuan oleh subyek atas dua hal yang menjadi satu.
Sedangkan Reede menyebutkan bahwa simbol berasal dan kata Greek suni-balloo yang berarti “saya bersatu bersamanya”, “penyatuan bersama”. Pemahaman yang diberikan oleh Reede ini tidak jauh berbeda dengan pemahaman sebelumnya. Pada hakekatnya, simbol adalah suatu penyatuan apakah itu berupa bentuk dan nilai harfiahnya, wujud dan maknanya, kesadaran dan ketidaksadaran dan lain-lain. Penyatuan ini merupakan nilai tambah terhadap kehidupan manusia sehingga perjalanan kehidupannya hal tersebut menjadi lebih bermakna.
Pemahaman kita tentang simbol ini harus kita bedakan dengan pemahaman terhadap tanda (sign). Tanda adalah formula fisik yang cenderung sebagai operator, sedangkan simbol adalah formula makna yang berfungsi sebagai designator sebagaimana yang diungkapkan oleh Cassier berikut:

”.... Simbol —bila diartikan tepat— tidak dapat dijabarkan menjadi tanda semata-mata. Tanda dan simbol masing-masing terletak pada dua bidang permasalahan yang berlainan: tanda adalab bagian dan dunia fisik; simbol adalah bagian dan dunia makna manusia. Tanda adalah “operator”, simbol adalah “designator”. Tanda, bahkan pun bila dipahami dan digunakan seperti itu, bagaimanapun merupakan sesuatu yang fisik dan substansial; simbol hanya memiliki nilai fungsional”.

Sependapat dengan Cassier, Carl Gustav Jung yang Psikiater Swiss (1875 - 1961) juga membedakan antara tanda (zeichen) dan simbol. Jung mengatakan bahwa antara pemakaian sesuatu sebagai tanda (semiotic) dan pemakaian sesuatu sebagai simbol (symbolic). Simbol mengandaikan bahwa ekspresi yang terpilih adalah formulasi yang paling baik akan sesuatu yang relatif tidak terkenal, namun hal itu diketahui sebagai hal yang ada atau diharapkan ada. Selama suatu simbol hidup, simbol itu adalah ekspresi suatu hal yang tidak dapat ditandai dengan tanda yang lebih tepat. Simbol hanya hidup selama simbol mengandung makna bagi kelompok besar manusia, sebagai sesuatu yang mengandung milik bersama sehingga simbol menjadi sosial yang hidup dan pengaruhnya menghidupkan. Manakala makna telah lahir dan suatu simbol, yakni ketika diperoleh ekspresi yang dapat merumuskan hal yang dicari dengan lebih tepat dan lebih baik, matilah simbol itu dan simbol hanya mempunyai makna historis. Simbol yang hidup mengungkapkan hal yang tidak terkatakan dalam cara yang tidak teratasi
Lebih jauh, Budiono Herusatoto menambahkan perbedaan antara isyarat, tanda dan simbol atau lambang yang ditulis dalam bukunya “Simbolisme dalam Budaya Jawa” yang terangkum sebagai berikut:

Pertama, isyarat, ialah suatu hal atau keadaan yang diberitahukan oleh subyek kepada obyek. Artinya subyek selalu berbuat sesuatu untuk memberitahu kepada obyek yang diberi isyarat agar obyek mengetahuinya pada saat itu juga. Isyarat tidak dapat ditangguhkan pemakaiannya. Ia hanya berlaku pada saat dikeluarkan oleh subyek. Isyarat yang dapat ditangguhkan penggunaannya, akan berubah bentuknya menjadi tanda. Contoh isyarat, bunyi peluit kereta api, gerak-gerik bendera morse, suara peluit pandu, polisi dan sebagainya.
Kedua, tanda, ialah suatu hal atau keadaan yang menerangkan obyek kepada subyek.
Ketiga, simbol atau lambang ialah suatu hal atau keadaan yang memimpin pemahaman subyek kepada obyek. Tanda selalu menunjuk kepada sesuatu yang riil (benda), kejadian, atau tindakan. Contohnya sebelum guntur berbunyi selalu ditandai dengan munculnya kilat. Tanda alamiah merupakan bagian dan hubungan alamiah; sebelum guntur meledak, didahului kilat. Tanda-tanda yang dibuat oleh manusia pun menunjukkan sesuatu yang terbatas artinya dan menunjukkan hal-hal tertentu pula, misalnya tanda-tanda lalu lintas, tugu-tugu jarak jalan seperti kilometer, hektometer, tanda baca pada bahasa tulis, tanda-tanda pangkat atau jabatan. Sebaliknya pada lambang, contohnya lambang Garuda Pancasila dan Palang Merah merupakan suatu benda, keadaan atau hal yang mempunyai arti yang terkandung di dalam lambang-lambang tersebut. Sebuah benda, misalnya bunga, yang dirangkai menjadi untaian bunga atau krans untuk menyatakan ikut berduka cita atau bendanya, tetapi pemahaman arti benda itu yang dipakai sebagai lambang untuk menyatakan ikut berduka cita. Dalam hal ini sifat kejiwaan yang ditonjolkan. Bendanya sendiri dibebaskan dari unsur yang terkandung dalam dirinya dan diperluas maknanya.

Pemahaman akan simbol sebagaimana yang telah dijelaskan di atas dalam setiap pemaknaannya akan selalu berkaitan dengan proses simbolisasi. Secara ontologi, Dibyasuharda merumuskannya dalam 4 point utama. Salah satu diantaranya menyebutkan tentang simbolisasi, yang mana dinyatakan bahwa dalam simbolisasi terjadi perpaduan dua gerak: gerak dari dalam dan gerak dari luar. Gerak dari luar diri manusia atau yang disebut sebagai “Gerak Yang Transenden” ini yang paling menentukan dalam proses simbolisasi tersebut.
Bertitik tolak dan pemahaman ontologi yang ditulis dalam Disertasi Dibyasuharda tersebut, Yudha Triguna (2000) menyatakan bahwa pengertian simbol dan simbolisasi bersifat dikotomis. Perspektif pertama —yang bermula dan pemikiran Kant— menyebutkan bahwa simbol dan simbolisasi berkaitan dengan yang imanen, dalam arti yang disatukan adalah yang ada dalam manusia saja. Simbol dan simbolisasi terbatas pada dimensi horisontal saja. Sebaliknya perspektif kedua —melalui pemikiran Langer yang filsuf Wanita asal New York— menyebutkan bahwa simbol maupun simbolisasi merujuk pada hal yang transenden (yang mengatasi objektivitas). Artinya, jika kita berbicara tentang simbol dan simbolisasi senantiasaberhubungan dengan adanya dialog manusia dengan “yang lain”. Dengan demikian, simbol tidak saja berdimensi horisontal-imanen, tetapi juga vertikal-transenden. Kedua perspektif ini akan tetap kita gunakan dalam pembahasan selanjutnya, agar terwujud suatu pemahaman yang holistik dan permasalahan simbol ini.

Mengenai permasalahan isyarat, tanda, atau simbol jika dikaitkan dengan proses simbolisasi ini, C.A. van Peusen dalam bukunya “Strategi Kebudayaan”, menyebutkan sejumlah pengertian dan proses yang berhubungan dengan simbol. Dari sana didapatkan pemahaman bahwa simbol dapat muncul ketika proses sedang berlangsung. Maka dari itu, simbol dapat berupa kata, tarian, gambar dan isyarat.
Hal tersebut juga dibenarkan oleh Kuntara Wiryamartana, ahli filsafat dan sastra jawa dari Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada. Kuntara menyatakan bahwa bentuk lambang atau simbol dapat berupa bahasa (dalam cerita, perumpamaan, pantun, syair dan peribahasa), gerak tubuh (tari-tarian), suara atau bunyi (lagu, musik), warna dan rupa (lukisan, hiasan, ukiran, bangunan). Atau dengan kata lain, pemahaman akan simbol dan simbolisasi ini mencakup tanda atau isyarat yang memang bisa mengalami “proses menjadi” simbol itu sendiri.

Argumentasi yang dapat kita tunjukkan atas anasir ini adalah apa yang biasanya kita lihat dalam keseharian kita. Misalnya ketika lampu merah pada trafict light menyala, ada makna yang ingin disampaikan, yakni bahwa yang ada dibelakang garis pembatas pada lampu merah tersebut harus berhenti sejenak. Di sekolah ketika bel berbunyi untuk yang pertama kalinya, mengandung makna bahwa jam pelajaran sudah dimulai. Dan masih banyak lagi contoh pen anda dan isyarat yang mengandung formula makna bagi “pengikut”nya.

Dari pemahaman tentang simbol dan simbolisasi sebagaimana yang telah disebutkan di atas, maka dapat kita tarik benang biru bahwa pada dasarnya ada formula makna dan nilai yang harus dipahami dari sebuah simbol. Makna dan nilai yang terkandung dalam sebuah simbol tersebut adalah formula khusus yang merupakan konstruksi budaya manusia itu sendiri dan memang didukung oleh komunitas pendukungnya (dimensi horizontalimanen) pun hal tersebut musti dipertanggungjawabkan kepada “Yang Mengatasi Segala-galanya” (dimensi vertikal-transenden).

Sebagai sebuah konstruksi budaya dalam dimensi vertikal-transenden sebagaimana yang telah disebutkan di muka, maka simbolisasi ini juga mengandung nuansa yang tidak jauh berbeda dengan nuansa yang ada pada pengalaman religi. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Simbol adalah cetusan cipta, rasa, dan karsa manusia yang diwujudkan melalui penyatuan dari wujud dan nilai suatu hal atau keadaan. Ekspresi itu sendiri sudah barang tentu merupakan pengalaman estetik seseorang. Dari pengalaman estetetik itu, manusia akan selalu dihubungkan pada nilai-nilai yang ada pada keindahan tersebut. Fenomena ini akan menyebabkan pada pencarian pada ”Keindahan Yang Tak Terhingga, Yang Mutlak”. Pada saat seperti ini, pengalaman estetik akan memuarakan diri pada pengalaman religi. Begitu pula sebaliknya, pengalaman religi bisa menuntun seseorang untuk mengekspresikannya ke dalam pengalaman estetik

Yudha Triguna melalui tabel konsepsi simbolnya, menggambarkan bagaimana kebanyakan tokoh seperti Kant, Cassier, Cohen, Berger dan Luckman yang para pemikir dunia itu mengakui keberadaan simbol dalam religi.

Keberadaan simbol itu sendiri pada hakekatnya adalah eksistensi dari agama yang bersangkutan. Mengingat keterbatasan manusia untuk mengekspresikan rasa bhaktinya kepada yang ia puja, maka simbol menjadi sangat urgen untuk kebutuhan religius manusia. Karena simbol-simbol itu ternyata mampu membangkitkan perasaan dan keterikatan yang lebih daripada sekedar formulasi verbal dari benda-benda dan atau simbol-simbol yang mereka yakini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar