Rabu, 30 November 2011

Simbolisme dalam Budaya Jawa-Hindu ( 3 )

Mahawakya tersebut yang kemudian oleh Sujamto dinamakan dengan istilah tantularisme, yang kini paham itu dikenal sebagai paham tentang semangat-semangat untuk membangun kesatuan yang kokoh dalam segala perbedaan dengan pemahaman akan kebenaran tunggal yang universal bebas dari sektarianisme pun dimensi ruang dan waktu. Pernyataan ini tidaklah berlebihan jika kita mau melihat dari sisi sejarahnya dimana Mpu Tantular menulis mahawakya tersebut ketika Majapahit dihadapkan pada fenomena Siwa Budhanya.

Kondisi semacam itu mungkin dapat kita lihat di negara India saat ini. India yang mayoritas penduduknya Hindu tidak pernah menerapkan tirani untuk menjadikan Hindu sebagai agama negara. Justru sebaliknya India adalah negara demokrasi yang menempatkan humanisme dan universalitas. Hal ini tidaklah mengada-ada karena kita semua tahu bahwa satu-satunya negara yang pernah dipimpin oleh kaum minoritasnya (Islam) dan masyarakatnya menerima dengan penuh kearifan yang diwarisi dan ajarannya (Hindu).

Namun demikian keuniversalan Hindu tersebut nampaknya menjadi fenomena tersendiri bagi perkembangan ajaran Hindu khususnya di Jawa dan Indonesia pada umumnya. Karena dengan adanya jawanisasi tersebut, pada perkembangan selanjutnya banyak ajaran Jawa-Hindu yang telah jauh meninggalkan “pakem”-nya. Dengan kata lain banyak terjadi pembiasan terhadap ajaran-ajaran dalam perikehidupan masyarakat kejawen yang notabene bernuansa Hindu sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Lebih-lebih dengan masuknya Islam dan “islamisasi” terhadap ajaran-ajaran sebelumnya (Jawa-Hindu), perkembangannya pun banyak yang kemudian disalah-artikan dengan tafsiran-tafsiran sendiri yang kadang kala menyimpang dari sumber utamanya yakni Weda.

Selain itu, tidak sedikit perkembangan tersebut menyebabkan penyimpangan sumber dan sejarah. Misalnya dengan adanya pengakuan terhadap otoritas kewilayahan dalam cerita “Barata Yudha” yang mengadopsi dari “ Itihasa Mahabharata” dalam ajaran Hindu sebagai bagian dari kesejarahan Jawa, Mandura yang diasosiasikan sebagai Madura (padahal nama yang sebenarnya adalah Mathura yang juga merupakan nama wilayah di India), Kalimasada yang dipersepsikan sebagai Kalimat Sahadat dan masih banyak lagi lainnya yang “dipleset-plesetkan”.
Memahami Simbolisme dalam Budaya Jawa-Hindu
Berbicara masalah budaya Jawa, memang bukanlah sesuatu yang gampang. Apalagi budaya Jawa di abad modern ini yang tentunya sudah banyak terjadi perubahan-perubahan secara sosio-kultural dan teruntuk hal tersebut sudah pasti kita harus mencari bahan-bahan perbandingan maupun sumber-sumber yang dapat menjelaskannya.

Namun demikian hal tersebut bukanlah sesuatu yang akan menghambat dalam menemukan dan menjelaskan budaya Jawa-Hindu dan simbolisnya. Karena sebagaimana yang telah disebutkan di muka bahwa tradisi dan adat-istiadat jawa dan atau kejawen pada akhirnya akan bermuara ke Hindu sebagai referensi tertua sejak peradaban dan atau kebudayaan Jawa memasuki jaman sejarahnya.

Dalam pada itu dasar dan esensi simbolisme dalam budaya Jawa-Hindu pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan dasar dan esensi simbolisme Hindu secara universal. Kalau dalam Hinduisme secara universal, dasar pijakan bagi simbolismenya adalah serangkaian sistem tattwa, susila dan upacara. Sedangkan dalam budaya Jawa-Hindu pada hakekatnya merupakan produk dan kesatuan sistem dan proses yang di dalamnya mencakup “olah cipta, olah rasa, dan olah rasa”yang kemudian melahirkan budaya dan produk budaya dalam kesatuan sistem, baik itu gagasan yang mencakup falsafah hidup, tingkah laku yang kaitannya dengan etika dan gaya hidup orang jawa, serta wujud-wujud benda yang dihasilkan dari kreativitas orang Jawa itu sendiri.

Lebih lanjut Budiono Herusatoto menyatakan bahwa pada intinya simbolisme dalam budaya Jawa merupakan cetusan maksud atau pesan—baik itu yang tertulis maupun lisan secara turun temurun— yang ingin disampaikan melalui komunikasi seluas-luasnya. Hal tersebut, menurutnya dapat ditempuh melalui beberapa sarana atau media, diantaranya: dengan bahasa lisan, tindakan-tindakan, benda-benda dan suasana tertentu.
Bahasa lisan
Bahasa lisan ini dipergunakan oleh orang-orang Jawa pada jaman dahulu untuk menitipkan pesan-pesan moral ataupun religius lewat symbol-simbol yang berupa ungkapan-ungkapan, semboyan, seloka, sengkalan, jarwa dosok dan lain-lain. Kemudian simbol-simbol dalam bahasa lisan itu disebar-luaskan dengan cara berantai, dari satu orang ke orang lain hingga akhirnya menjadi sebuah pandangan hidup bagi orang Jawa.

Pandangan hidup itu terbentuk dari alam pemikiran Jawa tradisional, Hindi atau filsafat India dan ajaran tasawuf Islam yang notabene mempunyai kedekatan pemahaman dengan —dan bisa jadi kena pengaruh— filsafat India atau Hinduisme. Hal ini bisa kita lihat pada ajaran-ajaran yang terdapat pada pelbagai sastra suluk Jawa.

Oleh karena itu, di sini saya menyebutnya dengan istilah pandangan Jawa-Hindu. Pandangan ini banyak yang mengacu pada pustaka-pustaka dan atau sastra-sastra, terutama pustaka/sastra Jawa kuno. Sebut saja Ramayana yang disusun pada tahun 825 Saka atau 903 M pada masa pemerintahan Dyah Balitung yang menguasai Jawa Timur dan Jawa Tengah, Kekawin Arjunawiwaha gubahan Mpu Kanwa pada tahun 941-964 Saka atau 1019-1042 M pada masa pemerintahan Raja Airlangga di Kediri. Di jaman itu juga digubah Kekawin Bharatayuddha oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Kemudian di Jaman Majapahit, kita mengenal Kekawin Desawarnana (baca: Negarakertagama) karya Mpu Prapanca, Sutasoma, dan Arjunawijaya yang keduanya karya Mpu Tantular.

Kemudian muncul karya-karya dengan menggunakan bahasa Jawa Pertengahan/Jawa Madya (peralihan dari Jawa Kuno ke Jawa Baru). Diantaranya Tantu PangelarĂ¡n, Tantri Kamandaka, Pararaton, Sudamala, Dewaruci. Kemudian setelah itu munculah sastra-sastra yang lain seperti Suluk Sukarsa, Suluk Wijil, Nitisruti, Kanda, Sastragendhing, Centhini, Gatholoco, Wulangreh karya Paku Buwono IV, Wedhatama karya Mangkunegara IV yang juga menggubah Serat Tripama, Kalatidha dan Jaka Lodhang karya R. Ng. Ranggawarsita yang merupakan pujangga besar di masa Jawa Barn, serta masih banyak lagi lainnya. Kesemua pustaka itu secara langsung atau tidak telah membentuk dan atau memelihara corak khas budaya Jawa yang kita kenal saat sekarang ini.

Dan beberapa pustaka tersebut banyak kita dapati pandangan-pandangan hidup orang Jawa yang terungkap dalam konsepsi-konsepsi tentang Tuhan, Manusia dan Alam Semesta. Adapun perincian konsep-konsep tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Tuhan atau Gusti
Penggambaran Tuhan dalam pandangan Jawa adalah sesuatu zat yang tidak dapat dibayangkan seperti apa pun (acintya), dekat tiada bersentuhan, jauh tiada perbatasan-Nya. Dalam istilah Jawa disebutkan sebagai “Dat han tan kena kinayangapa, cedhak tan pa seuggolan, adoh tanpa wangenan”.
Karena keterbatasan manusia, masyarakat Jawa kemudian memberikan nama untuk Tuhan-Nya yang mewujudkan lambang atau kebesaran-Nya. Nama-nama yang dipakai itu diantaranya Sang Hyang Taya yang identik dengan konsep Sat-Asat dalam Hindu, Sang Hyang Wenang atau bisa juga sebagai Prajapati yang Maha Kuasa atas seluruh alam semesta, Sang Hyang Tunggal sebagai konsep Keesaan Tuhan bagi orang Jawa yang juga dikenal dalam konsepsi ketuhanan dalam Hindu dan Sangkan Paraning Dumadi yang merujuk pada pemahaman Tuhan sebagai Asal dan Tujuan dan segala yang ada.

Selain nama-nama yang diperuntukkan bagi Tuhan di atas, masyarakat Jawa seringkali menggunakan sebutan “Gusti” untuk Tuhannya yang dalam jarwa dosoknya diartikan sebagai “bagusingati” atau dalam ajaran Hindu Brahman sebagai pujaan hati merupakan atman yang ada dalam diri kita (brahman atman aikyam).

2. ManusiaDalam pandangan Jawa tentang manusia disebutkan ada dua unsur yang semuanya akan menjadi sarana “kembali” bersatu dengan Tuhannya (manunggaling kawula lan gusti) sebuah konsep mengenai moksa dalam masyarakat Jawa. Dua unsur itu disebutkan sebagai unsur jasmani dan unsur rohani (stula sarira dan suksma sarira dalam konsep Hindu).
Unsur jasmani terdiri atas dulur papat yang meliputi; kakang kawah, adhi ari-ari, air ketuban dan plasenta, babahan hawa sanga (lobang sembilan), panca indria dan seterusnya. Sedangkan unsur rohaninya terdiri atas nafsu, Aku (ego) yang kodrat kemampuan cipta rasa dan karsa, Ingsun (pribadi/self) yang merupakan penuntun ego dan Suksma Sejati yang merupakan “percikan” Tuhan atau Suksma Kawekas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar