Rabu, 30 November 2011

Simbolisme dalam Budaya Jawa-Hindu…….. ( 2 )

Lebih jauh Mircea Eliade mengungkapkan bahwa simbol bukan sekedar cerminan realitas obyektif namun juga mengungkapkan sesuatu yang lebih pokok dan lebih mendasar. Secara gamblang Eliade mengatakan, “Simbol keagamaan mampu mengungkapkan suatu modalitas dan yang nyata atau suatu struktur dunia yang tidak tampak pada pengalaman langsung.

Dalam megilustrasikan bagaimana sebuah simbol mampu mengungkapkan modalitas kenyataan yang tak terjangkau oleh pengalaman manusia, kita ingat satu contoh saja, yaitu simbolisme air yang mampu’ mengekskresikan kondisi pra-formal, virtual, dan kaotis. Jadi, jelas sekali hal ini bukan masalah pengetahuan rasional; melainkan kesadaran hidup yang menangkap realitas melalui simbol, yang lebih dan sekedar refleksi”. Selain itu, dengan simbolisasi yang diformulasikan ke dalam bentuk-bentuk tertentu inilah masyarakat pemcluk agama yang juga sebagal pendukung kebudayaan itu dapat dipersattikan melalui dorongan-dorongan yang timbul sebagai efek dan simbolisasi itu. Hal ini pun dapat kita lihat pada adanya semangat/rasa persatuan dan kesatuan suatu bangsa yang timbul sebagai efek dan simbol dan simbolisasi pada bendera, bahasa, lagu kebangsaan dan lain-lain. Di Indonesia misalnya, keberadaan bendera Merah Putih yang hanya terbuat dan secarik kain ini ternyata mampu menumbuhkan semangat nasionalisme pada jutaan jiwa rakyat Indonesia.

Dan sini terlihat jelas bahwa simbolisasi itu tidak hanya dilihat dan bentuk dan wujudnya.saja, akan tetapi simbolisasi itu akan lebih menekankan makna yang terkandung atau esensi dalam simbol tensebut. Esensi dan atau makna inilah yang mungkin aka menggetarkan perasaan pendukung simbol yang bersangkutan.

Begitu juga —lebih-lebih— dalam konteks religi yang mana di sana kita akan terpaut oleh suatu interaksi dengan Sang Maha Pencipta. Tentunya simbolisasi ini lebih dan sekedar simbol atau lambang negara. Karena keberadaannya diyakini sebagai sesuatu yang mutlak dan arnat disakralkan (the sacred symbol) meskipun di sisi lain keberadaan simbol ini bersifat kayali (imajiner) dan kadang kala jauh dan penalanan ilmiah (logika). Dalam banyak hal simbol yang satu ini akan selalu dipagari oleh larangan-larangan atau tabu-tabu yang tidak dimiliki oleh simbol yang bersifat sekuler atau duniawi (the seculer or the profane symbol) yang mungkin lebih logis dan pada simbol yang sakral tadi.

***
Jawanisasi Hindu dan Pembiasannya
Hindu adalah agama yang universal dan terbuka untuk seluruh budaya yang ada di dunia. Sebagai agama yang universal dan terbuka tentunya Hindu akan menerima budaya apasaja yang sesuai dengan falsafah Hindu itu sendiri. Budaya yang sesuai dengan Hindu itu akan mengalami akulturasi dengan peradaban Hindu sehingga membentuk suatu corak baru yang khas dan menambah khasanah budaya dalam Hindu.

Jawa sebagai pulau yang pernah menjadi pusat peradaban Hindu ternyata telah menerima banyak pengaruh dari Hindu. Mulai dari sistem gagasan yang memunculkan falsafah dan pandangan Hidup orang Jawa, sistem sosial yang dianut oleh masyarakat Jawa, hingga benda-benda yang merupakan perwujudan budayanya. Kesemuanya itu adalah bagian dari peradaban dan kebudayaan Jawa yang memang diilhami oleh pemikiran Hindu. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya yang dibarengi dengan surutnya peradaban Hindu dan berkembangnya peradaban Islam di Jawa, pun masih diilhami oleh pemikiran-pemikiran Hindu.
Mungkin terlalu “naïf” kalau kita mengelak dengan mengatakan bahwa budaya jawa adalah budaya yang berdiri sendiri dan bebas dari pengaruh Hinduisme. Dan akan lebih mbalelo lagi kalau akhirnya peradaban dan kebudayaan Jawa itu meninggalkan pandangan-pandangan hidup sebagaimana yang pernah diwarisi dari para pemikir-pemikir Hindu seperti yang bisa kita lihat pada kenyataan saat ini. Dan memang hal ini telah diprediksikan dalam sebuah unen-unen dari para tetua di Jawa dahulu yang kurang lebih berbunyi, “ela-elo Cina Landa kari separo, wong Jawa kari sajodho”. Indikator ini menunjukkan bahwa tidak sedikit orang jawa yang lupa dengan jati diri “Jawa”nya (wong Jawa ilang jawane).

Jawa yang dimaksud adalah yang bermakna implisit sebagaimana dikatakan Adi Soeripto, seorang tokoh Jawa yang juga Sekretaris PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) Pusat bahwa kata tersebut mempunyai kedekatan arti dengan—bisa jadi berasal dari— kata Sanskerta arjawa yang berarti jujur atau kejujuran. Dan anasir seperti ini bisa kita buktikan dengan melihat korteks yang ada di masyarakat. Suatu misalnya ketika seorang Jawa mempunyai itikad yang tidak baik, pendusta, durhaka dan sejenisnya maka ia akan disebut sebagai orang yang ora jawa.

Lebih jauh jika kita mau berkaca pada sejarah dalam konteks yang sebenarnya”—bukan yang “sebaiknya”, maka di sana akan kita dapati bahwa pada jaman dahulu telah terjadi proses yang boleh disebut sebagai jawanisasi ajaran-ajaran Hindu. Proses ini berlangsung sekian lama setelah kedatangan orang-orang ke India ke Indonesia baik itu yang bertujuan untuk berdagang maupun yang memang hanya ingin menyebarkan ajaran-ajaran Hindunya. Karena peradaban bangsa Indonesia yang pada waktu itu tidak jauh berbeda dengan peradaban yang dibawa oleh bangsa India, maka hal tersebut memudahkan untuk terjadinya akulturasi budaya.
Selanjutnya, masuklah paham-paham Hindu ke Indonesia termasuk kebudayaannya yang berasal dari India. Akan tetapi para pendahulu kita memang bukan orang yang udah menerima ajaran begitu saja (text book thinking) tanpa memperhitungkan baik dan buruknya sehingga pada waktu itu kebudayaan Hindu yang berasal dari India akhirnya pun harus mengalami proses adaptasi dengan kebudayaan setempat. Dan proses inilah kemudian lahirlah apa yang oleh para pujangga jaman dahulu disebut sebagai “mangjawaken byasamata” yang artinya adalah, “membahasajawakan ajaran-ajaran Bhagawan Byasa”. Proyek besar ini dimulai sekitar abad X pada zaman Raja Dharmawangsa Teguh yang masih keturunan dari Dinasti Isana di Jawa - Timur.

Kemudian proyek tersebut mendapatkan perhatian dari para raja-raja sesudahnya sehingga proses jawanisasi itu pun menjadi program yang berkelanjutan hingga akhirnya ajaran-ajaran Hindu yang berasal dari India itu dapat beradaptasi dengan kebudayaan Jawa waktu itu. Proses ini pun nampaknya juga dapat kita lihat pada masa-masa abad ke-19 hingga mungkin pada abad modern.

Jawanisasi kebudayaan Hindu tersebut kemudian mengakibatkan kebudayaan Jawa itu sendiri menjadi sebuah peradaban baru yang agak sedikit berbeda dengan kebudayaan asalnya. Peradaban tersebut kemudian mengakar dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Jawa baik dalam kerangka falsafah, sistem etika, maupun pelaksanaan ritual Jawa itu sendiri. Peradaban inilah yang kemudian di kalangan masyarakat Jawa dikenal dengan istilah kejawen. Niels Mulder (1996), yang setelah mengadakan penelitiannya tentang yang “Jawa” selama kurang lebih 10 tahun pun menyimpulkan bahwa kejawen atau yang ia sebut sebagai javanisme ini sebenarnya berasal dari tradisi di masa Hindu dan Budha dalam sejarah Jawa yang kemudian tergabung dalam suatu sistem filsafat tersendiri.

Dalam pada itu kejawen bukanlah sinkretisme sebagaimana yang disebutkan Geertz (1960) dengan interpretasinya tentang kalangan priyayi, santri dan abangan dalam masyarakat Jawa. Sebaliknya kejawen ini lebih cenderung merupakan mosaikisme yang mana menurut Abdullah Ciptoprawiro, seorang pakar filsafat Jawa adalah bahwa segala hasil pemikiran, pengalaman dan penghayatan manusia dalam gerak perjalanannya menuju kesempurnaan merupakan pola tetap filsafat Jawa sepanjang sejarah. Dengan tegas ia mengatakan bahwa istilah sinkretisme tersebut tidak tepat karena dalam filsafat Jawa pola yang dipakai adalah tetap sedangkan unsure-unsur atau “batu-batunya” bisa berubah dengan masuknya budaya baru. Oleh karena itu tidaklah mengherankan ketika masa kejayaan Hindu dan Budha berakhir dan berganti dengan kejayaan Islam, cara-cara dan tradisi yang dipakai dalam.budaya Jawa-Hindu tersebut tetap dipakai dalam budaya Jawa-Islam. Dan dalam kejawen sendiri terbuka untuk agama apa saja, tidak terkecuali Islam yang pada masa kejayaannya banyak menggunakan media-media yang merupakan warisan budaya Jawa Hindu untuk menyebarkan ajarannya. Dan memang itulah suatu kelebihan dalam peradaban Hindu yang mampu menerima local genius sehingga tidak salah kalau Hindu disebut sebagai agama universal. Hal ini sebagaimana yang terungkap dalam sebuah mahawakya—yang kini dijadikan semboyan bangsa Indonesia dan terpampang pada Garuda Pancasila— dalam karya Mpu Tantular yang kini kita kenal sebagai kitab Sutasoma, yang salah satu slokanya berbunyi, “bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” yang artinya, “berbeda tetapi tetaplah satu, tak ada dualisme dalam dharma/kebenaran”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar